Kisah Islamnya Influencer dr Tirta, Antara Mimpi dan Doa
Sejak wabah virus corona baru melanda Indonesia, berbagai elemen masyarakat tampil untuk berupaya mengatasinya. Di antara mereka adalah kalangan pemengaruh (influencer) yang memiliki banyak pengikut di dunia maya. Salah satu influencer yang aktif memberikan sosialisasi dan edukasi terkait protokol kesehatan Covid-19 ialah dr Tirta.
Pemilik nama lengkap Tirta Mandira Hudhi itu menjadi seorang relawan penanganan Covid-19 di Tanah Air. Kepada Republika.co.id, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu mengaku senang karena dapat terlibat dalam gerakan-gerakan kampanye protokol kesehatan. Ia berharap, jerih payahnya bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.
Lelaki 29 tahun itu teringat pesan seorang kiai yang pernah disampaikan kepadanya. Bahwa menjadi seorang dokter merupakan jalan pengabdian di tengah masyarakat. Sebab, kemampuan dokter dalam mendiagnosis penyakit dan menjaga kesehatan umum dapat memberi manfaat bagi sesama manusia. Itu sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Di balik upaya dan kerja kerasnya, Tirta menampilkan sisi religius. Ia merupakan seorang Muslim, tetapi keislamannya berasal dari sebuah proses yang panjang. Dalam arti, ia harus melalui berbagai pencarian sebelum akhirnya memeluk Islam. Pria berdarah Tionghoa itu menuturkan, dirinya lahir dari kedua orang tua yang berlainan iman.
Ayahnya merupakan orang Jawa dan Muslim. Adapun ibunya berasal dari keturunan Tionghoa dan non-Muslim. Masing-masing mereka bekerja di ranah yang berbeda. Sang kepala keluarga menjadi petani, sedangkan ibunda Tirta merupakan seorang karyawati bank.
Di keluarganya, Tirta merupakan anak semata wayang. Ia tumbuh besar dalam situasi yang serbaterbatas. Seisi rumah pun terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Terkait pendidikan agamanya, Tirta mengaku, sejak usianya masih anak-anak, dirinya mengikuti agama sang ibu, yakni non-Islam. Namun, lelaki kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, itu tidak begitu religius saat itu.
Ada satu peristiwa yang menimbulkan trauma mendalam baginya. Pada 1998 berbagai daerah di Tanah Air mengalami letupan-letupan sosial. Banyak orang yang tidak puas dengan kondisi ekonomi sehingga mudah terprovokasi dan menimbulkan kerusuhan. Di Solo, Jawa Tengah, ibunya terjebak dalam sebuah huru-hara. Saat itu, kantor financial institution tempatnya bekerja sudah terkepung api.
Pilihannya cuma ada dua, meninggal dibakar atau loncat. Ibu pilih loncat, kata Tirta M Hudhi saat dihubungi Republika.co.id, beberapa waktu lalu. Sejak saat itu, Tirta muda mulai memahami bagaimana kelompok etnis tertentu dapat menjadi sasaran amuk orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ia pun mulai sensitif terhadap isu-isu suku, ras, dan agama (SARA). Pada puncaknya, ateisme menjadi pilihan hidupnya.
Akibat terpaksa terjun dari lantai dua gedung tinggi, ibunya mengalami cedera cukup parah. Meskipun nyawanya selamat, Tirta mengenang, ibunya kemudian menjadi sakit-sakitan. Akhirnya, dokter memvonisnya mengidap penyakit tumor. Keadaan itu semakin membuat Tirta muda frustrasi. Dirinya kian tidak memercayai kasih sayang Tuhan
Tirta menuturkan, dirinya mulai mengalami perubahan sejak lulus SMA. Ia mengaku bersyukur karena lolos seleksi masuk UGM Yogyakarta. Apalagi, jurusan yang ditempuhnya cukup prestisius, yakni Kedokteran Umum.
Di tanah rantau, Yogyakarta, dirinya bertemu dengan macam-macam orang. Kalau di Solo dahulu, ia cenderung dikucilkan sehingga berkawan hanya dengan sesama keturunan Tionghoa. Namun, selama di Kota Gudeg, pergaulannya kian luas dan beragam. Dalam berteman, tidak membeda-bedakan antara pribumi dan nonpribumi. Bahkan, banyak teman dan sahabatnya yang Muslim.
“Ketika kuliah di UGM, aku ketemu berbagai macam karakter orang. Dari situ, aku mulai terbuka,” ujarnya. Dari kawan-kawannya yang Muslim itu, Tirta pun belajar mengenal Islam. Di antara yang membuatnya terkesan adalah kisah Wali Songo dalam menyebarkan syiar agama ini di tanah Jawa. Baginya, dakwah para mubaligh legendaris itu sangat membumi. Sebab, pendekatannya berbasis kebudayaan sehingga betul-betul ajaran Islam tertanam dalam benak masyarakat.
Bahkan, mahasiswa FK UGM itu juga berkenalan dengan seorang pengasuh pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), namanya KH Jumroni. Padahal, waktu itu dirinya masih non-Muslim atau ateis.
Percakapan dengan Kiai Jumroni membuatnya berpikir ulang tentang keyakinannya. Islam ternyata indah dan tidak bertentangan dengan akal rasional. Agama yang dianut ayahnya itu mengajarkan bahwa Tuhan Maha Esa. Allah SWT itu satu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Mimpi dan doa
Hingga pada suatu sore, Tirta yang saat itu masih menapaki studi di Yogyakarta bermimpi. Dalam mimpinya, ia merasa sedang terbang di langit. Di sisi kanan dan kirinya tampak dua sosok berbaju putih dan bercahaya. Saat melesat itu, dirinya juga melihat seorang imam besar di Makkah. Pemandangan kota tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW itu memang tak asing baginya. Sejak masih kecil dahulu, gambar-gambar Ka'bah dan Masjidil Haram sudah dilihatnya terpampang pada dinding rumahnya.
Tirta dalam mimpinya juga berpapasan dengan sang pemimpin pondok pesantren yang dikenalnya. Maka begitu terjaga, bunga tidur itu tidak dicampakkannya dari pikiran. Lama juga dirinya merenungi apa makna mimpi tersebut. Beberapa hari setelah itu, dia mengaku selalu mendengar suara kumandang adzan. Bahkan, kebiasaan itu terjadi selama tujuh hari berturut-turut, khususnya setiap pukul 09.00 dan pukul 12.00 WIB. Karena merasa perlu bercerita, Tirta pun menelepon ayahnya.
Ternyata bapaknya mengungkapkan apa yang selama ini dilakukannya. Sang ayah secara rutin berdoa kepada Allah SWT agar anak satu-satunya itu kembali kepada iman dan Islam. Doa yang sama juga dipanjatkannya kala bertawaf di Ka'bah dalam kesempatan umrah. “Bapak cerita, saat umrah itu bapak berdoa, semoga Allah mengarahkanku untuk mendapatkan yang terbaik. Dan sejak itu, saya memutuskan masuk Islam,” ujar Tirta.
Keesokan harinya, ia mengunjungi pesantren milik Kiai Jumroni. Setelah mengutarakan maksudnya untuk memeluk Islam, Tirta pun mengikuti beberapa kali bimbingan. Dengan demikian, dirinya semakin yakin bahwa keputusannya datang dari pribadinya, bukan dorongan, apalagi paksaan siapa pun. Akhirnya, lelaki yang kala itu berusia 23 tahun ini mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan sang kiai. Lokasinya adalah sebuah masjid di Sleman, DIY.
Seusai bersyahadat, untuk menguatkan iman, Tirta pun menjadi santri di pesantrennya Kiai Jumroni. Meskipun tidak lama nyantri, dirinya bersyukur karena di sanalah semangatnya ditempa untuk menjadi Muslim yang konsisten. “Ketika iman saya berada di titik terendah, saya sadar perlu mengisi ulang ilmu saya sehingga saya pasti akan meluangkan waktu untuk menimba ilmu kepada Kiai Jumroni,” ujar dia.
Pada 2013 Tirta lulus dari FK UGM Yogyakarta. Kariernya dalam dunia medis bermula di Puskesmas Turi Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Selanjutnya, dirinya menjadi dokter muda di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito di kota yang sama hingga 2015. Beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk berhenti dari profesi kedokteran.
Fokusnya beralih pada dunia wirausaha, yakni menjadi pemilik usaha jasa cuci sepatu. Nama yang dipilihnya untuk usahanya itu: Shoes and Care. Salah satu ujian hidup yang pernah dirasakannya terjadi pada 2018. Kala itu, dirinya divonis menderita bronkitis akut. Namun, kini dirinya telah pulih dan terus menjaga kesehatan.
Shoes and Care pun kian berkembang. Hingga saat ini, perusahaan itu telah memiliki lebih dari 25 cabang di berbagai kota besar se-Indonesia. Bahkan, baru-baru ini cabangnya telah ada di Singapura.
“Aku masih punya satu cita-cita yang belum kesampaian. Aku mau buat rumah sakit dari duitku sendiri di mana itu mewadahi dokter-dokter muda yang baru lulus. Insya Allah, RS yang bisa berguna untuk rakyat, khususnya mereka yang memiliki keterbatasan finansial,” katanya.
0 Response to "Kisah Islamnya Influencer dr Tirta, Antara Mimpi dan Doa"
Posting Komentar